Cakaplagi.com – Wacana hak angket kecurangan pemilu 2024 mencuat setelah dicetuskan oleh capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo.
Wacana ini mendapat respon positif dari beberapa partai, namun PDIP sebagai partai pengusung Ganjar belum mengambil langkah politik lanjutan.
Wacana penggunaan hak angket kecurangan Pemilu 2024 mulai mencuat setelah diinisiasi oleh calon presiden nomor urut 3, yang juga merupakan kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yaitu Ganjar Pranowo.
Hak angket kecurangan Pemilu 2024 yang diusulkan Ganjar langsung mendapat tanggapan positif dari tiga partai pendukung Anies Baswedan, yaitu Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sementara partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan menyatakan menunggu langkah selanjutnya dari PDIP sebagai inisiator wacana penggunaan hak angket.
Meskipun demikian, hampir satu minggu berlalu tanpa adanya langkah politik terbuka yang diambil oleh PDIP.
Meski wacana penggunaan hak angket masih diperbincangkan, namun dukungan terhadapnya baru dinyatakan oleh sejumlah tokoh seperti Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat dan politikus PDIP Adian Napitupulu.
Petinggi-petinggi strategis dari PDIP seperti Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR Puan Maharani, serta Ketua Fraksi PDIP di DPR Utut Adianto, masih belum memberikan komentar terkait rencana penggunaan hak angket ini.
Sikap elite PDIP ini menjadi sorotan tersendiri. Ada dugaan bahwa PDIP masih ragu untuk mengusulkan penggunaan hak angket terkait dugaan kecurangan pemilu di DPR.
Agung Baskoro, Direktur Eksekutif Trias Politika, menyebutkan bahwa ada tiga hal yang mungkin membuat PDIP masih menahan diri untuk bersikap tegas.
Pertama, PDIP masih menunggu hasil hitung real count Pemilu Legislatif 2024. Partai ini juga menunggu arahan atau instruksi dari Megawati Soekarnoputri terkait penggunaan hak angket.
“Secara institusional, PDIP menunggu hasil real count KPU, jadi sikap partai terkait penggunaan hak angket ini belum diputuskan. PDIP masih menunggu, dalam konteks ini Ibu Mega menunggu hingga perhitungan suara real count KPU selesai dilakukan,” ujar Agung.
Kedua, lanjut Agung, PDIP masih melakukan kalkulasi dan menimbang momentum yang tepat untuk mengambil langkah.
“Perhitungan PDIP akan ditentukan dari hasil pertemuan antara Megawati dengan elite yang mendukung AMIN, yaitu Surya Paloh dan Jusuf Kalla. Bahkan tidak menutup kemungkinan perhitungan PDIP dapat dipengaruhi jika rencana pertemuan antara Megawati dengan Presiden Joko Widodo yang difasilitasi oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X terwujud,” jelasnya.
Yang terakhir, menurut Agung, PDIP masih kesulitan untuk memutuskan posisinya saat ini, apakah sebagai oposisi atau bagian dari koalisi.
Menurutnya, posisi PDIP belakangan ini cenderung berada di luar pemerintahan. Namun faktanya, PDIP belum menarik diri dari kabinet Presiden Joko Widodo.
“Namun jika PDIP ingin bergabung dalam koalisi, mengapa tidak? Terlebih saat ini mereka masih di dalam kabinet, bukan di luar kabinet. Jadi masih ada ruang komunikasi yang dibuka oleh Istana. Sehingga masih memungkinkan untuk dinegosiasikan kembali. Namun semua ini tergantung pada PDIP, apakah mereka mau atau tidak?” jelas Agung.
Agung menegaskan bahwa hak angket masih tertahan di tangan PDIP. Bahkan ia pesimis bahwa wacana penggunaan hak angket ini akan terealisasi. Kemungkinan besar, usulan tersebut akan memudar sebelum mendapatkan dukungan.
“Saya ragu apakah usulan ini akan disetujui oleh setengah jumlah anggota DPR. Apalagi nuansa politiknya sangat kental. Kubu 03 tidak memiliki cukup dukungan, sedangkan PPP mulai merasa ragu. Sandiaga Uno bahkan menyatakan keinginan untuk bergabung dalam kabinet,” tambah Agung.
“Saya melihat bahwa kubu 01 juga tidak terlalu antusias untuk mendukung penggunaan hak angket ini jika tidak ada arahan yang jelas dari kubu PDIP,” lanjutnya.
Selain itu, penggunaan hak angket terkait pemilu akan terlihat aneh jika dilakukan oleh PDIP, mengingat Presiden Joko Widodo masih merupakan kader dari PDIP.
Agung menjelaskan bahwa hak angket DPR hanya dapat ditujukan kepada Pemerintah sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Jika PDIP mengusulkan hal ini, maka seolah-olah mereka menyerang kader mereka sendiri.
Menurutnya, PDIP memiliki dua opsi saat berhadapan dengan Jokowi terkait penggunaan hak angket: menarik kader-kadernya dari kabinet atau mencopot Jokowi sebagai kader.
“Menurut saya, secara halus, mereka harus keluar dari kabinet. Karena yang akan diselidiki adalah eksekutif, yang merupakan kader mereka, yaitu presiden mereka. Atau bisa juga dengan mencopot Jokowi dari jabatannya. Atau Jokowi bisa mengundurkan diri,” jelas Agung.
Agung menyatakan bahwa sikap politik ini dapat diambil oleh PDIP jika mereka memilih untuk menjadi oposisi dan mengajukan hak angket. Baginya, sikap politik yang jelas sangat penting bagi PDIP untuk menjaga martabat partai.
“Langkah ini sah dan jelas menunjukkan bahwa PDIP sudah berada di luar pemerintahan dan menjadi oposisi dengan PKS. Karena yang dikritik adalah ketidakberesan, keberlangsungan, dan kebesaran kecurangan pemilu 2024. Ini adalah upaya untuk menjaga martabat politik masing-masing,” kata Agung.